Ada hari yang dirasa spesial bagi kebanyakan orang.
Hari yang mengajak untuk melempar jauh ingatan ke belakang, ketika saat ia
dilahirkan ke muka bumi, atau ketika masih dalam buaian dan saat-saat masih
bermain dengan ceria menikmati masa kecil. Ketika hari itu datang, manusia pun
kembali mengangkat jemarinya, untuk menghitung kembali tahun-tahun yang telah
dilaluinya di dunia. Ya, hari itu disebut dengan hari ulang tahun.
Nah sekarang, pertanyaan yang hendak kita cari tahu
jawabannya adalah:
Bagaimana sikap yang Islami menghadapi hari ulang
tahun?
Jika hari ulang tahun dihadapi dengan melakukan
perayaan, baik berupa acara pesta, atau makan besar, atau syukuran, dan
semacamnya maka kita bagi dalam dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, perayaan
tersebut dimaksudkan dalam rangka ibadah. Misalnya dimaksudkan sebagai ritualisasi
rasa syukur, atau misalnya dengan acara tertentu yang di dalam ada doa-doa atau
bacaan dzikir-dzikir tertentu. Atau juga dengan ritual seperti mandi kembang 7
rupa ataupun mandi dengan air biasa namun dengan keyakinan hal tersebut sebagai
pembersih dosa-dosa yang telah lalu. Jika demikian maka perayaan ini masuk
dalam pembicaraan masalah bid’ah. Karena syukur, doa, dzikir, istighfar
(pembersihan dosa), adalah bentuk-bentuk ibadah dan ibadah tidak boleh
dibuat-buat sendiri bentuk ritualnya karena merupakan hak paten Allah dan
Rasul-Nya. Sehingga kemungkinan pertama ini merupakan bentuk yang dilarang
dalam agama. Rasul kita Shallallahu’alaihi Wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Orang yang melakukan ritual amal ibadah yang bukan
berasal dari kami, maka amalnya tersebut tertolak” [HR. Bukhari-Muslim]
Perlu diketahui juga, bahwa orang yang membuat-buat
ritual ibadah baru, bukan hanya tertolak amalannya, namun ia juga mendapat
dosa, karena perbuatan tersebut dicela oleh Allah. Sebagaimana hadits,
أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ، لَيُرْفَعَنَّ إِلَىَّ رِجَالٌ مِنْكُمْ حَتَّى إِذَا أَهْوَيْتُ لأُنَاوِلَهُمُ اخْتُلِجُوا دُونِى فَأَقُولُ أَىْ رَبِّ أَصْحَابِى . يَقُولُ لاَ تَدْرِى مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga).
Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan
mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku. Aku
lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman,
‘Engkau sebenarnya tidak mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “
(HR. Bukhari no. 7049)
Kemungkinan
kedua, perayaan ulang tahun ini dimaksudkan tidak dalam
rangka ibadah, melainkan hanya tradisi, kebiasaan, adat atau mungkin sekedar
have fun. Bila demikian, sebelumnya perlu diketahui bahwa dalam Islam, hari
yang dirayakan secara berulang disebut Ied, misalnya Iedul Fitri, Iedul Adha,
juga hari Jumat merupakan hari Ied dalam Islam. Dan perlu diketahui juga bahwa
setiap kaum memiliki Ied masing-masing. Maka Islam pun memiliki Ied sendiri.
Kemudian, Ied milik kaum muslimin telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya
hanya ada 3 saja, yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, juga hari Jumat. Nah, jika
kita mengadakan hari perayaan tahunan yang tidak termasuk dalam 3 macam
tersebut, maka Ied milik kaum manakah yang kita rayakan tersebut? Yang pasti
bukan milik kaum muslimin.
Kemudian Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
-rahimahllah- menjelaskan : “Panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah
baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya.
Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.
Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk
amalannya.
Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do’a agar
dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan :
“Semoga Allah memanjangkan umurmu” kecuali dengan keterangan “Dalam
ketaatanNya” atau “Dalam kebaikan” atau kalimat yang serupa. Alasannya umur
panjang kadang kala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang
jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya-
hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka”
[Dinukil dari terjemah Fatawa Manarul Islam 1/43, di almanhaj.or.id]
Jika demikian, sikap yang Islami dalam menghadapi hari ulang tahun adalah:
tidak mengadakan perayaan khusus, biasa-biasa saja dan berwibawa dalam
menghindari perayaan semacam itu. Mensyukuri nikmat Allah berupa kesehatan,
kehidupan, usia yang panjang, sepatutnya dilakukan setiap saat bukan setiap
tahun. Dan tidak perlu dilakukan dengan ritual atau acara khusus, Allah Maha
Mengetahui yang nampak dan yang tersembunyi di dalam dada. Demikian juga refleksi
diri, mengoreksi apa yang kurang dan apa yang perlu ditingkatkan dari diri kita
selayaknya menjadi renungan harian setiap muslim, bukan renungan tahunan.
Wallahu’alam.
Sumber:
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar